Pandangan Mazhab Islam tentang Keberadaan dan Tempat Allah - DeepResearch
Sunni (Ahlussunnah – Asyʾariyah/Maturidiyah)
Para ulama tradisional Ahlussunnah menegaskan bahwa Allâh tidak “bertempat” pada makhluk manapun; Dia mutlak suci dari ruang dan waktu ciptaan. Mereka menerima teks Qur’ân tentang “ar-Rahmân istawâ ʿalâ al-ʿarsy” (QS. Thâhâ [20]:5) secara takwîd (“tanpa tanya bagaimana”) dan menolak ta’wîl yang menyerupakan-Nya dengan makhluk. Misalnya Al-Ghazâlî (Asyʾarî) menjelaskan:
“Allâh maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu/zaman. Dia ada sebelum terciptanya waktu dan tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan waktu) ada sebagaimana pada sifat-Nya azali; tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu” empayaraswj.wordpress.com.
Dalam sanad sahîh, para sahabat pun berbicara serupa; Ali bin Abî Thâlib berkata, “Allâh ada tanpa permulaan, tanpa tempat… Dia ada sekarang (setelah ada tempat) sesuai sifat-Nya azali; yaitu ada tanpa tempat”
Pendekatan tekstual Ahlussunnah (bersumber pada Quran-hadits) tetap menjaga makna lafaz “‘alâ al-ʿarsh” (di atas ʿArsy) tapi menegaskan bahwa ini mesti dipahami “selayaknya pada-Nya” (bilâ kayfa). Imam Malik menjawab pertanyaan tentang Istiwâ’ Allâh: “Ar-Rahmân beristawa ke atas ʿArsy sepertimana Dia sifatkan Diri-Nya, dan tidak boleh ditanyakan ‘bagaimana’ (kaif) Istiwâ-Nya…”
Dengan kata lain, Allâh berkuasa memerintah alam semesta dari ʿArsy-Nya, tetapi Dia tidak menyerupai makhluk dalam bentuk apapun (mukhalafah lil-hawâdits).
-
Sebelum Penciptaan Arsy: Karena Allâh itu azali (tidak berawal), Dia keberadaannya tetap sama sebelum maupun sesudah penciptaan langit, Arsy, dan semesta. Sebagaimana diterangkan di atas, Allâh tidak terbatas oleh waktu dan ruang empayaraswj.wordpress.com. Dia tidak “berpindah” ke Arsy ketika diciptakan, melainkan sifat zat-Nya azali tetap di atas keagungan-Nya. Dengan kata lain, pembagian waktu (sebelum dan sesudah penciptaan) tidak menimpa-Nya.
-
“Allâh di Mana-mana” dan Tempat Tidak Layak: Ketika kita katakan Allâh Mahā Mengetahui seluruh tempat (QS. al-Ḥaḍîd [57]:4 dan ad-Dzâriyât [51]:56), para ulama Sunnah menegaskan ini bermakna ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi semua tempat, bukan zat-Nya yang literal berada di setiap titik. Seorang ulama salaf (Basyr al-Ḥâfî) menegaskan: “Jika Allâh berada di mana-mana, maka konsekuensinya Dia harus berada di perut manusia, di mulutnya, dan di toilet… (padahal) yang meliputi tempat hanyalah ilmu-Nya, bukan Dzat-Nya” fliphtml5.com. Maksudnya, Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu di setiap lokasi tanpa terbatas berada secara fisik.
-
Kapan Allâh Ada? (Permulaan): Semua Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa Allâh wâjib al-wujûd (wajib ada); keberadaan-Nya tidak berawal dan tidak berakhir. Allâh qâdim dan kekal (azali). Sebagaimana disebutkan, Allâh ada sadiq sebelum adanya waktu dan ciptaan apapun, dan tetap ada sekarang seperti sedia kala tanpa perubahan empayaraswj.wordpress.com. Ringkasnya, Allâh adalah Zat pertama yang ada dan tidak memerlukan zaman; Dia tidak tercipta dan tidak mengalami awal atau akhir.
Pada dasarnya, mazhab Asyʾari/Maturidi bersikap tekstual terhadap penggambaran tempat-Nya (menegaskan kata “di atas ʿArsy” berarti kuasa-Nya di Arsy) tetapi sepakat menafikan sifat-sifat kebendaan. Mereka sering menggunakan prinsip bilâ kayf (tidak menanyakan “bagaimana”) untuk menjaga keagungan Allâh, serta kualifikasi tanzîh (menolak penyamaan Allah dengan makhluk) seperti dinyatakan para sahabat dan salaf
empayaraswj.wordpress.comfitrahislami.wordpress.com.
Sunni (Atharî/Salafi)
Mazhab Salaf/Atharî (yang dikaitkan dengan Ibn Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dll.) sepakat bahwa Allâh sesungguhnya berada di atas ʿArsy-Nya, sebagaimana Q.S. Thâhâ (20):5 menjelaskan “Ar-Rahmânu ʿalâ al-ʿArsyi istawâ.” Namun mereka menekankan bahwa “di atas” itu bukan “di ruang alam semesta” melainkan secara transenden di luar segala makhluk. Ibn Taimiyyah (w.728H) menyatakan:
“Di atas ʿArsy-Nya … menunjukkan posisi Allâh ada di luar alam semesta. Karena definisi ‘tempat’ berkaitan dengan ruang dan waktu, dan ruang-waktu itu hanya ada dalam alam semesta. Allâh di atas Arsy berarti Dia diluar alam semesta” syaikhulislam.wordpress.com.
Dengan demikian Salaf menolak kesan bahwa Allâh bertempat seperti makhluk. Mereka memandang kalimat-kalimat sifat (seperti Istiwâ’) secara zahir tetapi tetap menjauhi penafsiran yang menjadikan Allâh serupa makhluk. Kaidah mereka: terima teks “bersemayam di Arsy” tanpa tanya kaif (sama seperti Asyʾari), namun tentunya dengan pemahaman bahwa Allâh tidak membutuhkan tempat (kerana tempat diciptakan-Nya).
-
Sebelum Penciptaan Arsy: Bagi Salafi, Allâh tidak pernah berada “di luar Arsy” dahulu. Sebab itu tahayyul yang tepat adalah Allâh sudah ada dalam sifat azali-Nya sejak awal tanpa permulaan apa pun – keadaan-Nya tetap sama dari azali hingga saat ini syaikhulislam.wordpress.com. Arsy serta langit dianggap sebagai makhluk yang diciptakan Allâh kemudian. Allâh tidak bergeser ke atas Arsy dari suatu ‘tempat’ lain; Dia tetap di atas azali karena sifat-Nya tidak berubah syaikhulislam.wordpress.com.
-
Allâh ada di mana-mana? (toilet): Pandangan Salafi serupa: Allâh tidak ‘ad di toilet’ secara fisik. Mereka menekankan ilmu dan kekuasaan-Nya merata ke segala penjuru, sementara Dzat-Nya sendiri berada dalam keagungan-Nya di luar tempat ciptaan. Seperti yang disindir oleh ulama Salaf di atas fliphtml5.com, jika Allâh “berada di mana-mana” secara harfiyah maka Dia terlibat ke toilet atau tempat najis. Sehingga tegaslah bahwa “yang meliputi tempat hanyalah ilmu-Nya”; implikasi tersebut tidak masuk akal.
-
Kapan Allâh Ada? (Permulaan): Pandangan Salafi identik: Allâh adalah Wâjib al-Wujûd, Qadîm (azali), dan Bâqî (kekal). Dia tidak berawal dan tidak berakhir. Misalnya, Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi‘i (ulama Sunni lainnya) berkata, “Dia sudah ada sebelum (didahului oleh) penciptaan tempat, maka Dia menciptakan tempat; sifat azali-Nya tetap sama seperti sebelum ada tempat” fitrahislami.wordpress.com. Hal ini konsisten dengan ajaran semua ulama ortodoks: Allâh tidak mengalami permulaan karena keberadaan-Nya hakikat-Nya.
Mazhab Atharî/Salafi menekankan kesederhanaan zahir (tidak menafikan apa yang disebutkan teks hadits/Quran, misal ‘Arsy, ArsyP, dsb.) sambil juga menolak apa pun yang menyerupakan-Nya dengan makhluk atau menyamakan-Nya dengan ruang. Mereka sering menyebutkan prinsip tanzîh (menyucikan Allah dari sifat-sifat badan) sama seperti para sahabat. Ibn Taimiyyah contohnya berulang kali mengingatkan: kata “di atas Arsy” hanya menunjukkan tingginya posisi Allâh secara mutlak, bukan geometri ruang syaikhulislam.wordpress.com.
Syiah Imamiyah
Aqidah Syiah Imamiyah (Maʾḍhab Alawiyyah) pada dasarnya sepaham dengan Ahlussunnah dalam menegaskan keesaan dan keagungan dzat Allâh (tanzîh). Allâh bagi Syiah disebut qadîmun bi nafsih (azali tanpa permulaan) dan qâdim lâ mulqadimah (tidak diciptakan). Imam Ali (as) mengatakan, “Keazalian-Nya tidak berawal… Dia kekal tanpa batas” islamquest.net. Demikian pula Imam Jaʿfar Shadiq (as) menyatakan bahwa Allâh “qâdim, awal, akhir” – Artinya Dia ada sebelum waktu diciptakan dan tetap ada tanpa akhir, dan tidak tunduk pada fenomena temporal seperti makhluk islamquest.net.
-
Dimana Allâh? Syiah mengakui bahwa menurut teks Qur’an Allâh ditaburkan bahwa Dia di atas Arsy-Nya (QS. Thâhâ [20]:5) namun tetap menegaskan bahwa itu tidak bermakna ruang fisik biasa. Dalam teologi Syiah dikenal sifat Mukhâlafah lil-Ḥawâdiṡ (Berbeda dengan ciptaan yang baru); Allâh tidak mirip ruang/ruangan. Ringkasnya, Allâh “di atas” ʿArsy artinya Dia maha tinggi keberadaannya di luar alam, sebagaimana dinyatakan: “keberadaan-Nya mencakup masa dan di atas masa” islamquest.net. Dengan demikian, Syiah sepakat Allâh tidak “bersemayam” dalam ruang mungil apapun.
-
Sebelum Penciptaan Arsy: Karena sifat Allah azali (qadîm), Syiah menjawab bahwa sebelum ada penciptaan langit, Arsy, atau apa pun, Allâh telah ada dalam zat-Nya yang sama. Dia tidak tiba-tiba muncul ketika Arsy diciptakan; Artinya, semua konsep ruang-waktu bagi Allâh barulah bermakna setelah penciptaan. Seperti diterangkan di atas, di luar waktu-Nya Allâh kekal ada, tidak terikat sebelum-peristiwa apa pun empayaraswj.wordpress.comislamquest.net.
-
Allâh di mana-mana (toilet)? Pandangan Syiah sejalan: Allâh meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan kekuasaan-Nya, tetapi tidak menyentuh benda najis atau toilet. Istilah Syiah terkadang menegaskan bahwa “Allâh sedia (wujud) tanpa bertempat” – artinya benar adanya secara hakiki (qathʿiyy) bahwa Allâh berada dalam Diri-Nya tanpa tempat. Oleh karena itu, mustahil membayangkan Allâh di toilet atau tempat kotor, karena Dzat-Nya tidak terikat ruang ciptaan.
-
Kapan Allâh Ada? (Permulaan): Sifat azâliyyah dan sarmadiyyah ditekankan keras. Syiah menyatakan Allâh wâjib al-wujûd sehingga keberadaan-Nya identik dengan Dzat-Nya, tak dapat ditiadakan. Imam Ali (as) menyebut-Nya “yang pertama dan azali” islamquest.net; Imam Jaʿfar (as) menegaskan, Allâh ada tanpa permulaan dan tanpa berakhir islamquest.net. Dengan kata lain, Allâh tidak dilahirkan dan tidak meninggal; eksistensi-Nya melampaui waktu (metamasa) islamquest.net.
Secara ringkas, ajaran Syiah Imamiyah tidak berbeda dengan Sunni tentang keagungan Allâh: Dia benar-benar di luar batas-batas makhluk (tidak di langit/langit sekalipun), serta azali dan kekal. Perbedaan hanya terletak pada detail ushul fikih, bukan masalah pokok tauhid ini. Tokoh-tokoh utama seperti Syahristâni, Mulla Shaykh Mahdi Arâqî, hingga Khomeini sendiri menggarisbawahi bahwa Allâh qâdim tanpa ‘ʿiyân zaman dan tempat’
Catatan Pemahaman: Semua mazhab di atas sama-sama mencatat keterangan bahasa (lafaz) “di atas ‘Arsy”, tapi menggarisbawahi agar jangan disamakan Allâh dengan makhluk. Pendekatan tekstual hanya menyatakan keyakinan bahwa Allâh ber-Istiwâ’ (berkuasa) atas Arsy, sedangkan pendekatan ta’wil/metaforis kadang menekankan makna lain (misalnya istiwâ sebagai “berkuasa/menetapkan hukum”). Namun baik Asyʾari, Atharî, maupun Syiah sepakat menolak pengertian fisik literal seperti punya ruang kepala atau tempat duduk. Mereka menekankan prinsip tanzîh (penyucian Allâh dari kebendaan) dan sifat mukhalafah lil-hawâdits, sesuai dengan ajaran Ahlussunnah-wal-Jamâ‘ah maupun tradisi Ahlul Bayt. Semua penjelasan ini diteguhkan dengan dalil Qur’an dan hadits sahih, serta perkataan ulama besar, antara lain Imam al-Ghazâlî (Asyʾari)
empayaraswj.wordpress.com, Ibnu Taimiyyah (Atharî)
syaikhulislam.wordpress.com, dan riwayat Imam Ali serta Imam Shadiq (Syiah)
Sumber:
Al-Qur’an dan hadits sahih tentang Arsy (QS. Thâhâ:5; al-Ḥadîd:4, dsb.), ghuluw dan tanzîh dari sunnah; karya ulama klasik seperti Imâm al-Ghazâlî (Iḥyâ’ Ulûm ad-Dîn, al-Arba‘în fî Ushûl ad-Dîn)
empayaraswj.wordpress.com, kitab tauhid mazhab Ahlussunnah; risalah Asy’uuroh oleh Imam Malik (diriwayatkan al-Bayhaqî)
fitrahislami.wordpress.com; karya Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyyah (tafsir Istiwâ’)
syaikhulislam.wordpress.com; serta literatur Syiah (kisah dan sabda imam) seperti IslamQuest
islamquest.netislamquest.net. Semua kutipan tersebut mendukung kesimpulan di atas.


Comments
Post a Comment
Silahkan masukkan komentar anda