Persepsi Publik terhadap Isu Ijazah Jokowi
Polemik—apakah ini wadah pencarian kebenaran, atau justru ajang adu dialektika yang dibungkus keangkuhan, sekadar untuk menunjukkan siapa yang paling tampak benar?
Dengan ribuan argumentasi yang tampak ilmiah dan bersumber dari ruang digital, benarkah semua itu membawa pencerahan, atau justru menyuburkan kabut kebingungan di kalangan masyarakat awam yang kurang akrab dengan teknologi informasi?
Alih-alih mendekatkan pada kebenaran, justru makin sulit memilah mana fakta, mana sekadar opini.
Tentu, dalam negara demokrasi, setiap warga berhak mengkritik. Sah-sah saja. Tapi apakah semua kritik otomatis membawa manfaat? Itu kembali pada kedalaman berpikir dan ketulusan hati masing-masing.
Namun yang membingungkan adalah ini:
Mengapa sebagian dari kita begitu larut dalam satu isu, seperti polemik ijazah Presiden Jokowi?
Mengapa kredibilitas seseorang diringkus hanya pada selembar dokumen, seolah seluruh rekam jejak, perjuangan, dan integritas yang telah ditunjukkan selama memimpin negeri ini bisa dihapus begitu saja?
Sekalipun seseorang dianggap punya kekurangan, apakah semua kontribusinya lantas nihil nilai?
Apakah yang sedang dipertontonkan ini adalah semangat kritis, atau sekadar pertarungan ego dan kebanggaan akademik?
Dan pada akhirnya,
Apakah yang akan menang: kebenaran yang jernih atau sekadar arogansi yang dibungkus intelektualitas?
Sebagian publik mulai menyadari adanya polemik ijazah Jokowi, tetapi kepercayaannya dipengaruhi oleh disinformasi. Menurut analisis media, Universitas Gadjah Mada (almamater Jokowi) menegaskan Jokowi memang mahasiswa Fakultas Kehutanan angkatan 1980 dan semua catatannya utuh. Bahkan KPU dan Mahkamah Agung tidak pernah membatalkan keabsahan ijazahnya. Survei LSI Denny JA akhir 2023 menunjukkan 41% masyarakat ragu terhadap berita di medsos yang menyerang pejabat, namun 31% percaya jika narasi disebarkan tokoh/influencer yang mereka ikuti. Artinya, hoaks bisa merusak kepercayaan publik. Sebagai perbandingan, Survei Edelman 2024 mencatat 61% masyarakat di negara berkembang mengalami krisis kepercayaan terhadap institusi akibat disinformasi, dan Indonesia termasuk rentan terhadap hoaks.
-
Klarifikasi Resmi: Pihak UGM secara tegas menyatakan “ijazah dan skripsi dari Joko Widodo adalah asli”. Rektor UGM menyebut semua data dan rekannya sebagai saksi; tidak ada bukti ilmiah atau dokumen alternatif yang menunjukkan keaslian diragukan. Pengacara Jokowi, Yakup Hasibuan, juga menegaskan Presiden tidak pernah memberikan salinan ijazahnya kepada siapapun.
-
Respon Publik: Sebagian publik terbelah. Ada yang meragukan karena terpapar konten sensasional, namun klarifikasi lembaga resmi menimbulkan simpati. Pengamat politik menyebut isu ini “hanya bentuk character assassination” yang bisa mengikis trust publik terhadap institusi. Jubir tim hukum Jokowi mengonfirmasi rumor ini sudah lama beredar dan kini dipertimbangkan langkah hukum karena merusak kredibilitas.
-
Dampak Kredibilitas: Meskipun isu ini mengundang sensasi, data kepuasan kinerja menunjukkan mayoritas tetap puas. Survei LSI (Okt 2024) menemukan 80,8% responden puas dengan kinerja Jokowi hingga akhir jabatan, dan survei Indikator (Apr 2023) mencatat 77,2% pujian. Capaian konkret pemerintahan (misalnya pertumbuhan ekonomi stabil dan penurunan kemiskinan) turut membentuk persepsi positif dan menanggapi narasi ijazah sebagai upaya delegitimasi, bukan isu faktual.
Penyebaran dan Framing Isu di Media Sosial
Isu “ijazah palsu” tersebar luas di platform daring, terutama X (Twitter), Facebook, dan YouTube/TikTok. Aktor utama penyebar konten antara lain akun media sosial dan politisi yang pro atau kontra Jokowi. Misalnya, politikus PSI Dian Sandi Utama mengunggah salinan ijazah Jokowi di akun X-nya, memicu laporan kepolisian. Tokoh lain seperti mantan Menpora Roy Suryo dan konten kreator Tifauzia Tyassuma (“Dokter Tifa”) sempat terlibat dalam membahas isu ini. Banyak judul berita media daring bersifat sensasional atau menimbulkan kontroversi (misal “ijazah hilang” atau “bukti palsu”), alih-alih berbasis verifikasi.
-
Konten Viral vs. Cek Fakta: Berita bohong (“hoaks”) cepat viral. Misalnya Antara News mengidentifikasi unggahan di X yang menarasikan seorang hakim menyatakan ijazah Jokowi palsu sebagai hoaks. Media cek fakta lain (Kompas, RRI) menolak klaim tanpa bukti. Misalnya, Kompas menyebut Jokowi siap tunjukkan ijazah asli pada pengadilan jika perlu. Sebaliknya, pihak resmi (UGM, tim hukum Jokowi) mendorong verifikasi forensik terhadap dokumen aslinya.
-
Framing Media: Secara umum framing isu ini lebih bernuansa politik. Media partisan kadang memotong kutipan atau menonjolkan perbedaan font/format untuk mengesankan kejanggalan, sementara media arus utama menunggu proses hukum. Laporan resmi UGM menunjukkan perbedaan font atau nomor seri ijazah Jokowi bukan hal aneh pada zamannya. Namun narasi berulang-ulang tentang ijazah palsu tetap disebarkan tanpa verifikasi. Forum online dan grup WhatsApp juga memperkuat narasi negatif tersebut.
-
Platform Dominan: X (Twitter) menjadi medan perdebatan publik, didukung video YouTube dan konten TikTok yang menyebar cepat. Misalnya, sebuah video kontroversial di YouTube sempat mengklaim bukti palsu, namun telah dibantah laboratorium dan pejabat terkait. Secara ringkas, isu ini diperkuat terutama oleh media sosial, sedangkan media resmi lebih menggarisbawahi fakta dan menunggu hasil investigasi.
Kinerja Pemerintahan Jokowi: Data dan Capaian
Data kuantitatif menunjukkan banyak keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam berbagai bidang; capaian ini cukup kontras dengan narasi kontroversial seputar kredibilitas pribadi.
-
Ekonomi: Perekonomian Indonesia relatif stabil tumbuh di kisaran 5%. BPS mencatat pertumbuhan 5,05% tahun 2023 (meski turun dari 5,31% tahun 2022). Dalam pidato kenegaraan disebut bahwa pertumbuhan konsisten di atas 5%, inflasi terkendali 2–3%, serta devisa meningkat dan indeks harga stabil. Indikator sosial-ekonomi lain juga membaik: misalnya, angka kemiskinan ekstrem turun drastis. Jokowi menyebut dari 6,1% (2014) ke 0,8% (2024), yang didukung data Kemenkeu/TPK tertinggi jadi 0,83% (Maret 2024). Pembangunan lapangan kerja dan subsidi membantu menurunkan kemiskinan, meski pengamat mengingatkan menggunakan patokan kemiskinan global terbaru.
-
Infrastruktur: Investasi besar-besaran membuahkan peningkatan konektivitas. Kementerian PUPR melaporkan penyelesaian 2.432 km jalan tol baru, ribuan km jalan nasional, serta puluhan bendungan baru (misalnya 53 bendungan selesai pada 2014–2024). Fasilitas publik seperti bandara, pelabuhan, serta Ibu Kota Nusantara (IKN) juga dikembangkan. Kompas mencatat Kementerian PUPR menyelesaikan hampir 6.000 km jalan baru dan puluhan ribu meter jembatan serta irigasi. Infrastruktur ini menurunkan biaya logistik dan mendukung akses ekonomi di berbagai daerah.
-
Penanganan Pandemi: Pemerintah Jokowi memimpin kampanye vaksinasi nasional masif, penyediaan fasilitas kesehatan, dan paket pemulihan ekonomi. Survei LSI (Nov 2020) menunjukkan 57,8% masyarakat puas atas kinerja Jokowi tangani Covid-19. Program vaksinasi berhasil mencapai sebagian besar populasi, yang mendukung pemulihan ekonomi. Indikator pemulihan pascapandemi (konsumsi rumah tangga, investasi) meningkat kembali ke tren positif. (Misalnya BPS melaporkan secara spasial ekonomi tumbuh di banyak provinsi setelah pandemi.)
-
Reformasi Birokrasi & Pembangunan Lainnya: Pemerintah meluncurkan berbagai reformasi, termasuk omnibus law, integrasi layanan perizinan, dan e-government untuk mempermudah perizinan usaha. Meskipun masih ada kritik soal penegakan hukum dan korupsi, peringkat Doing Business dan Ease of Doing Business Indonesia membaik sebelum daftar tersebut dihentikan. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2023 menunjukkan penurunan korupsi di sektor tertentu. Pencapaian lain termasuk peningkatan belanja infrastruktur, perbaikan pelayanan publik, serta inisiasi program energi bersih dan pengentasan kemiskinan.
Perbandingan dengan Narasi Isu Ijazah: Berbagai data di atas menunjukkan kinerja pemerintahan Jokowi dalam bidang ekonomi, sosial, dan infrastruktur yang signifikan. Sebagian besar masyarakat Indonesia tetap menilai pencapaian ini secara positif (terlihat dari survei kepuasan 77–80%). Kontrasnya, narasi yang berkembang soal keabsahan ijazah lebih bersifat pribadi dan politis, tidak didukung bukti kuat, dan oleh banyak pihak dinilai sekadar upaya delegitimasi. Dengan kata lain, fokus publik yang pragmatis cenderung menilai pemerintah melalui hasil kerja nyata, bukan melalui hoaks tentang latar belakang pribadi.
Simpulan:
Isu ijazah Jokowi telah menimbulkan keraguan semu di sebagian masyarakat, namun mayoritas publik tampak tetap mempercayai kredibilitas kepemimpinannya karena pencapaian konkret pemerintahan. Narasi negatif di media sosial lebih banyak bersifat spekulatif, sedangkan data resmi (perekonomian, infrastruktur, penurunan kemiskinan, dll.) menunjukkan kinerja pemerintahan tetap relatif kuat. Sebagai contoh, survei LSI menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sekitar 80%—angka yang sulit dijelaskan oleh narasi negatif ijazah palsu. Media dan lembaga independen secara konsisten menegaskan bahwa isu ijazah tersebut belum terbukti, bahkan dikategorikan sebagai hoaks oleh antaranews dan penyidik. Dengan demikian, perbandingan kinerja nyata pemerintah dan narasi hoaks kredibilitas menunjukkan jurang besar: fakta lapangan mendukung legitimasi Jokowi, sementara isu ijazah lebih merefleksikan polarisasi politik.
Sumber: Laporan berita dan data resmi (Kompas, Antara, BPS, UGM, LSI, dll.). (Semua data dan kutipan di atas berasal dari sumber terpercaya.)
Kekeliruan Logika dalam Isu Keaslian Ijazah Jokowi
Jenis-jenis Kekeliruan Logika (Logical Fallacies)
Dalam perdebatan publik tentang ijazah Presiden Jokowi, muncul berbagai kesalahan penalaran yang umum terjadi. Beberapa jenis kesesatan berpikir yang sering dijumpai antara lain:
-
Argumentum ad ignorantiam (Argumen dari Ketidaktahuan): Menganggap suatu klaim benar atau palsu semata karena belum ada bukti sebaliknya. Misalnya, klaim “karena saya belum melihat ijazah asli Jokowi maka itu pasti palsu”. Sesuai analisis logika, tuduhan tanpa bukti sahih adalah fallacy: beban pembuktian ada pada penuduh, sehingga tanpa bukti valid tuduhan gugur.
-
Ad Hominem (Serangan Pribadi): Menyerang karakter atau reputasi seseorang sebagai ganti menanggapi argumen. Contohnya, menyimpulkan “Jokowi tidak jujur karena terlihat tidak percaya diri saat diminta ijazah” tanpa bukti, lalu mengabaikan argumen akademik atau fakta. Definisi ad hominem: membahas karakter lawan bicara yang tidak relevan dengan topik.
-
Argumentum ad populum (Bandwagon Fallacy): Menganggap suatu pernyataan benar karena “banyak orang percaya”. Misalnya, klaim “banyak warga yakin ijazah Jokowi palsu, jadi pasti ada kebenarannya”. Padahal, kebenaran perlu dievaluasi berdasarkan bukti, bukan sekadar dukungan massa. Argumentum ad populum terjadi ketika “jika semua orang melakukannya, pasti benar”.
-
Strawman Fallacy: Menyimpulkan atau mengubah argumen lawan dengan versi yang salah sehingga mudah diserang. Contohnya, jika pendukung Jokowi menyatakan diperlukan bukti, lawan malah mengklaim “mereka menyangkal hak rakyat bertanya sehingga harus dianggap salah”. Strawman terjadi ketika argumen lawan diputarbalik secara keliru.
-
Hasty Generalization (Generaliasi Terburu-buru): Membuat kesimpulan umum berdasar contoh yang terlalu sedikit. Contoh: jika beberapa orang menyangka ijazah Jokowi palsu karena melihat video tertentu, lalu berkesimpulan “Jokowi pasti memang memalsukan ijazah.” Ini generalisasi dari sampel terbatas. Kompas mendefinisikannya sebagai asumsi berdasarkan contoh yang kurang memadai.
-
Red Herring (Pengalihan Isu): Mengalihkan topik pembicaraan ke hal yang tidak berhubungan. Misalnya, isu ijazah diredam dengan mengangkat narasi lain (korelasinya tidak jelas) seperti “fokus ke ekonomi saja, jangan sok kritik.” Red herring terjadi saat seseorang mengalihkan topik yang tidak relevan dengan argumen lawan.
-
False Cause (Sebab Palsu / Post Hoc): Menyimpulkan hubungan sebab-akibat tanpa bukti yang logis. Misal, “begitu Jokowi tidak menunjukkan ijazah, maka pasti ada skandal terselubung.” Padahal tidak ada korelasi langsung; kompas menyebut false cause sebagai salah identifikasi sebab suatu kejadian.
-
False Dilemma (Dilema Palsu / Either-Or): Menyajikan seolah hanya ada dua pilihan ekstrem. Contoh di politik: “Jika tidak percaya isu ijazah palsu, berarti Anda bungkam atas korupsi”. DetikNews memberi contoh serupa: “Jika tidak mendukung X, berarti Anda menginginkan korupsi terus merajalela,” padahal banyak pilihan lain.
-
Beban Pembuktian Terbalik: Menuntut pihak lain membuktikan kebenaran ketidakbenaran klaim, padahal seharusnya penuduh yang memberikan bukti. Artikel DetikNews menegaskan, dalam filsafat ilmu dan hukum beban pembuktian ada pada penuduh; tuduhan tanpa bukti gugur.
-
Appeal to Emotion (Bandwagon Emosi): Menggunakan emosi (malu, takut, simpati) sebagai dasar argumen. Misalnya, memicu kemarahan publik terhadap Jokowi untuk menggantikan argumen logis. Analisis post-truth menyebut era kini di mana “emosi/hasrat memihak pada keyakinan meski fakta berbeda,” sehingga logika mudah tergantikan oleh sentimen.
Daftar di atas mewakili jenis fallacy yang paling umum dijumpai dalam diskusi publik ini. Setiap kesesatan berpikir mengaburkan proses evaluasi fakta dan logika, misalnya dengan asumsi keliru (ad ignorantiam), menyerang pribadi (ad hominem), atau memutarbalikkan argumen (strawman). Banyak pula klaim di media sosial yang menggunakan teknik manipulatif (seperti hoaks foto ijazah, rumor tak berdasar) untuk menyebarkan narasi tanpa bukti.
Analisis Perspektif Logika Formal dan Informal
Secara formal, semua contoh di atas tidak valid secara logika: argumen yang mengandung fallacy tidak menjamin kesimpulannya benar. Misalnya, keliru menyimpulkan “palsu” hanya karena bukti yang sah belum muncul adalah argumentum ad ignorantiam. Dalam logika formal, klaim hanya dapat ditarik jika premis mendukung kesimpulan secara valid. Namun dalam perdebatan ini sering muncul argumen informal yang secara struktur salah (misalokasi sebab, penarikan generalisasi terburu-buru, dsb.).
Fallacy informal berdampak nyata pada persepsi publik. Banyak orang cenderung terpancing menyetujui argumen menarik emosi atau mayoritas, meski argumen itu lemah. Sebagai contoh, kepanikan atau kemarahan dapat menggantikan evaluasi bukti: munculnya video atau screenshot tak terverifikasi langsung dianggap “bukti”, padahal itu hanya kesaksian anekdot. DetikNews menekankan pentingnya evaluasi berbasis bukti, bukan asumsi tanpa dasar. Ketika logika formal diabaikan, klaim tanpa bukti pun bisa diterima, sehingga masyarakat sulit menilai kebenaran.
Selain itu, munculnya fallacy menunjukkan manipulasi retorika: politisi atau pendukung dapat sengaja menyisipkan kesalahan logis untuk membingungkan lawan. Misalnya, pernyataan “hanya dua pilihan ekstrim” secara formal meniadakan banyak alternatif tengah. Pengenalan contoh polos (ad hominem, strawman, dsb.) dari Kompas menunjukkan pola argumen yang terlihat logis padahal cacat. Menurut pakar logika, mengenali kesesatan ini penting agar publik tidak terjebak argumen menyesatkan.
Perspektif Filsafat dan Teori Pengetahuan
Dari sudut epistemologi, kecenderungan masyarakat mempercayai narasi lemah bukti dapat dijelaskan lewat bias kognitif dan afiliasi ideologis. Orang cenderung mencari informasi yang mengonfirmasi keyakinan awalnya (confirmation bias). Di media sosial, algoritma bahkan menampilkan konten yang sesuai preferensi pengguna, memperkuat bias ini. Dengan polarisasi politik, pandangan (misalnya simpati atau antipati pada Jokowi) mempengaruhi penafsiran fakta: kritik keras kemungkinan ditolak oleh pendukungnya, sementara rumor mudah dipercaya oleh lawan.
Fenomena post-truth juga relevan: menurut kajian Marz Wera dkk., era ini ditandai dengan “mengabaikan objektivitas dan rasionalitas dengan membiarkan emosi/hasrat memihak pada keyakinan meski fakta berbeda”. Artinya, narasi yang kuat secara emosional atau sentimental sering lebih diutamakan daripada bukti empiris. Logika pun tergusur oleh narasi pribadi. Sebagai contoh, meski UGM dan SMAN 6 Solo sudah mengonfirmasi keaslian latar belakang pendidikan Jokowi, sejumlah orang tetap fokus pada cerita alternatif tanpa bukti.
Secara filosofis, ini berkaitan dengan konsep beban bukti (burden of proof) dan kesalahan epistemik. Dalam suatu debat ilmiah maupun hukum, kewajiban membuktikan kebenaran terletak pada pihak yang mengklaim sesuatu luar biasa. Penulis DetikNews menegaskan bahwa dalam kaidah epistemologi, tanpa bukti tandingan yang sahih tuduhan harus gugur. Namun di era ini, banyak orang memilih percaya pada narasi yang sesuai kepentingan atau insting, walau bukti empiris tidak kuat. Emosi seperti ketakutan atau amarah juga mengikis kebebasan berpikir kritis, sehingga sesat pikir (misal ad ignorantiam) lebih mudah menyebar.
Secara singkat, kepercayaan pada narasi lemah bukti didorong oleh: (1) kesetiaan ideologi/afiliasi politik yang membuat seseorang menutup mata terhadap fakta kontradiktif, (2) bias kognitif seperti favoring informasi yang sesuai keyakinan, dan (3) pengganti logika dengan emosi sosial yang menguatkan narasi pihak tertentu. Situasi ini sejalan dengan laporan bahwa media sosial menjadi “lahan subur” bagi teori konspirasi dan hoaks pasca-Pilpres 2024, yang menyebarkan ketidakpastian dan polarisasi pemilih.
Analisis Politik
Dalam perspektif politik, aktor tertentu secara sadar memanfaatkan fallacy untuk kepentingan strategi. Tuduhan palsu atau rumor tak berdasar sering kali memiliki motif memecah kepercayaan publik dan mendiskreditkan lawan. Pengamat Pieter C. Zulkifli menyebut isu ijazah ini sebagai “manuver politik terstruktur” untuk delegitimasi dan manipulasi demokrasi. Ia menegaskan pola lama politik semacam ini “merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara” dan bersifat agenda pribadi.
Misalnya, hoaks politik dalam Pemilu kerap menargetkan pribadi calon untuk mengadu domba pendukung. Artikel BaKTINews mencatat beragam fitnah dalam pemilu sebelumnya (2014, 2019) seperti meragukan kewarganegaraan Jokowi atau menuduh pribadi tanpa dasar. Tujuan utamanya adalah “mengadu domba para pendukung” agar terjadi polarisasi yang menguntungkan politikus tertentu. Akibatnya, pesan politik mengedepankan sentimen (mis. agama, identitas) dan menyebarkan disinformasi untuk melemahkan oposisi.
Lebih lanjut, propaganda semacam ini memanfaatkan mobilisasi emosi dan keterbatasan regulasi. Tanpa langkah tegas, tuduhan bohong yang terus dipelihara bisa “merusak fondasi demokrasi”. Aktor politik sering mengulang narasi salah (misalnya klaim palsu) melalui media sosial dan media partisan sehingga terkesan “mayoritas pendukung setuju”, padahal itu hanya efek echo chamber. Pola retorika polarizing (“kamu mendukung saya, atau kau musuh negara”) secara informal menciptakan dilema palsu yang memaksa publik memilih pihak. Dengan kata lain, fallacy dipakai sebagai senjata: “narasi kebohongan yang dipelihara secara sistematis” pada akhirnya “merusak keutuhan demokrasi”.
Secara ringkas, analisis politik menunjukkan aktor tertentu menggulirkan kesesatan berpikir ini untuk memanipulasi opini: baik dengan serangan pribadi, rumor menyesatkan, maupun retorika hitam-putih. Dampaknya terukur: tingginya jumlah konten hoaks politik (Mafindo mencatat 232 hoaks politik Q1 2023) menandakan pelbagai narasi disinformasi aktif dimainkan. Keadaan ini menciptakan polarisasi tajam, di mana fakta sering tunduk di bawah tekanan emosi dan kepentingan politik.
Estimasi Jumlah dan Variasi Fallacy
Berdasarkan pemantauan diskursus media dan laporan cek fakta, puluhan jenis kesalahan logika bisa diidentifikasi dalam perdebatan ijazah Jokowi. Daftar kasar yang sering muncul melampaui 10 varian; yang utama sudah disebut di atas (ad ignorantiam, ad hominem, strawman, ad populum, false cause, false dilemma, red herring, hasty generalization, dsb.). Setiap isu atau hoaks politik hampir pasti melibatkan beberapa fallacy sekaligus. Misalnya, klaim palsu dapat dibumbui appeal to authority (mengutip tokoh tanpa relevansi), appeal to emotion (menggugah kemarahan), atau bahkan circular reasoning. Data Mafindo mengilustrasikan skala masalah: ratusan hoaks politik terdeteksi tiap pemilu, dan hampir semua mengandung setidaknya satu gaya argumentasi keliru.
Kendati sulit menghitung persis jumlah fallacy, dapat dikatakan diskusi ini didominasi kesalahan penalaran informal. Berbagai sumber mendokumentasikan puluhan kesesatan berpikir umum (lihat definisi dan contoh dari Kompas dan sumber edukasi lain). Kombinasi informal-fallacy itulah yang membuat sebuah isu sekedar klaim emosional bisa tampak “logis” di mata sebagian publik. Secara konservatif, setidaknya sepuluh jenis berbeda telah banyak dipakai dalam wacana ini, dan variasinya bisa lebih banyak lagi tergantung kontekstualisasi oleh aktor politik.
Kesimpulan: Isu keaslian ijazah Jokowi dipenuhi oleh kesesatan berpikir yang meliputi beragam fallacy logika. Logika formal terganggu oleh asumsi keliru (ad ignorantiam, beban bukti, dll.) dan argumentasi emosional, sehingga kebenaran sulit dinilai murni melalui nalar. Dari perspektif filsafat pengetahuan, fenomena ini didorong oleh bias kognitif dan kebutuhan narasi emosional yang menggantikan fakta. Secara politik, fallacy tersebut digunakan sebagai alat stratgis memanipulasi persepsi publik dan memperdalam polarisasi. Mengingat kompleksitasnya, memahami jenis-jenis fallacy beserta dampaknya menjadi krusial bagi publik agar tidak terjerumus dalam disinformasi.
Sumber: Literatur berita dan analisis terkini menunjukkan banyak contoh fallacy dalam wacana ini, serta bahaya sosial-politik yang ditimbulkannya. Data resmi (UGM, SMAN 6 Solo) bahkan telah menegaskan keaslian ijazah Jokowi, membuktikan bahwa fallacy seperti argumentum ad ignorantiam adalah tidak sah secara epistemik. Pemeriksaan fakta oleh lembaga resmi (Mafindo, Kominfo) juga mengungkap ratusan hoaks politik sejenis, memperkuat pentingnya verifikasi rasional dalam menanggapi klaim publik.
-
https://www.detik.com/edu/edutainment/d-7871098/ugm-joko-widodo-alumnus-ijazah-dan-skripsinya-asli
-
https://www.antaranews.com/berita/4845853/hoaks-hakim-akui-ijazah-jokowi-palsu-pada-17-mei-2025
-
https://www.antaranews.com/video/4845033/jokowi-klarifikasi-dugaan-ijazah-palsu-di-bareskrim-polri
1. Analisis Kesesatan Berpikir (Logical Fallacies) dalam Diskursus Ijazah Jokowi:
-
https://news.detik.com/kolom/d-7891046/ijazah-jokowi-dan-politik-praduga
-
https://ejournal.upgrisba.ac.id/index.php/jurnal-gramatika/article/view/9371
-
https://repository.unp.ac.id/id/eprint/8204/1/B1_3_RAHMADDIN_DAELI_15019028_2020.pdf(detiknews, Instagram, TikTok, ejournal.upgrisba.ac.id, UIN Jakarta Repository, repository.unp.ac.id)
2. Pandangan Logika, Akal, Filsafat, dan Politik terkait Fenomena Ijazah Palsu:
3. Dokumentasi dan Kronologi Kontroversi Ijazah Jokowi:
-
https://en.wikipedia.org/wiki/Joko_Widodo_university_diploma_controvsy(ResearchGate, The Star, The Star, Noi English, Wikipedia)
Comments
Post a Comment
Silahkan masukkan komentar anda