Perkembangan Pemikiran Pra-Filsafat Manusia

 

Perkembangan Pemikiran Pra-Filsafat Manusia

Pendahuluan:

Sebelum munculnya filsafat formal di Yunani, manusia menginterpretasikan dunia melalui kerangka mitos, animisme, dan kepercayaan magis. Dalam masyarakat prasejarah, kepercayaan animistik – yaitu meyakini bahwa alam semesta dipenuhi roh dan kekuatan gaib – mendominasi hampir seluruh budaya awal. Cara pandang ini tampak di berbagai peradaban kuno (Mesir, Mesopotamia, India, Tiongkok) sebagai upaya memahami alam dan eksistensi tanpa metode ilmiah. Cara berpikir pra-filsafat seperti mitos penciptaan dan agama awal ini kemudian menyediakan kerangka dasar pertanyaan filosofis selanjutnya.

Mitologi dan Kosmologi Awal

Manusia kuno menggunakan mitos kosmogoni untuk menjelaskan asal usul alam semesta. Sebagai contoh, mitos Mesopotamia menuturkan bahwa awalnya langit dan bumi pernah menyatu, baru kemudian dipisahkan oleh para dewa. Dalam epos Gilgamesh, dikisahkan betapa “langit pernah dipindahkan dari atas bumi, bumi pun terpisah dari surga” oleh badai dewa Enlil. Demikian pula Enuma Elish Babylonian menggambarkan alam semesta lahir dari kekacauan air purba (dewi Tiamat) yang kemudian melahirkan barisan dewa-dewi.

Dalam tradisi India Kuno, mitos penciptaan termuat dalam Rigveda. Mitos Purusha menggambarkan manusia kosmik (Purusha) yang dikorbankan, sehingga dunia beserta struktur sosialnya tercipta. Tubuh Purusha menjadi unsur-unsur jagad raya dan empat varna (kelas) masyarakat Hindu. Serupa dengan itu, mitos “telur kosmik” yang terpecah menjadi langit dan bumi juga muncul dalam beberapa tradisi kuno.

Tradisi Mesir Kuno memandang kosmos sebagai arena pertarungan antara tatanan (ma’at) dan kekacauan (isfet). Raja dianggap perantara ilahi untuk menjaga keseimbangan alam. Kisah-kisah penciptaan Mesir jarang tertulis di sumber sehari-hari, tetapi orang Mesir menggambarkan dunia dengan pusat kerajaan (Mesir) yang dikelilingi kekacauan. Oleh sebab itu, tugas raja dan para imam adalah mempertahankan “kebaikan” ilahi melawan kekacauan kosmik. Keyakinan ini direfleksikan dalam budaya religius Mesir yang polyteistik: Dewa-dewi seperti Matahari (Ra) dan Osiris (raja alam baka) menjadi simbol utama yang merefleksikan siklus alam dan keniscayaan kematian.

Animisme dan Keyakinan Alam

Animisme – kepercayaan bahwa seluruh alam (batu, pohon, binatang, cuaca) memiliki jiwa atau roh – dianggap sebagai bentuk kepercayaan agama paling awal. Sir Edward B. Tylor (1871) mendefinisikan animisme sebagai “kepercayaan dalam penghidupan seluruh alam” dan percaya pada jiwa-jiwa pribadi (spiritual beings) yang menghuni pepohonan, bebatuan, air terjun, dan sebagainya. Menurut Tylor, animisme adalah “filsafat alam” sederhana di mana matahari, bintang, angin, dan elemen alam lainnya dianggap bersifat personal.

Studi modern mendukung pandangan bahwa animisme merupakan ciri mental dasar manusia pra-sejarah. Penelitian lintas-budaya menunjukkan animisme adalah trait agama terawal yang memungkinkan manusia memikirkan makhluk-makhluk supranatural. Animisme bukanlah agama tersendiri, melainkan kecenderungan kognitif universal; ia muncul sebagai by-product dari proses berpikir yang mengatribusi kekuatan tak terlihat pada objek-objek alam. Bahkan, sejak era prasejarah global kepercayaan animistik mendominasi tata dunia masyarakat kuno. Sebagai contoh konkret, pemakaman Neolitik di Cina (budaya Yangshao) menunjukkan praktik animistik yang kuat: orang menyembah personifikasi alam dan leluhur, membubuhkan sesaji di makam, serta orientasi kuburan simetris barat-timur sebagai simbol kematian dan kebangkitan. Begitu juga, masyarakat pemburu-pengumpul di banyak belahan dunia selalu memiliki upacara shamanistik dan kepercayaan roh alam yang kompleks.

Sistem Kepercayaan Awal di Berbagai Budaya

Berbagai peradaban kuno mengembangkan sistem kepercayaan kompleks berdasarkan mitos dan animisme. Misalnya:

  • Mesir Kuno: Agama politeistik dengan raja sebagai perantara dewa-manusia. Penguasa dianggap bagian dunia dewa, membangun piramida dan monumen untuk kehidupan akhirat. Dewa-dewi Mesir terkenal berwujud campuran manusia-hewan (seperti Horus berkepala elang, Anubis berkepala serigala). Fokus utama agama Mesir adalah Matahari (Ra) dan Osiris (raja alam baka). Kosmologi Mesir menempatkan Mesir sebagai pusat alam semesta, di mana ketertiban ilahi (ma’at) dijaga melawan kekacauan sekelilingnya.

  • Mesopotamia: Juga politeistik dan sedikit henoteistik; setiap kota atau bangsa mempunyai dewa pelindungnya. Bukti awal menunjukkan penyembahan “kekuatan alam sebagai penyedia kehidupan” (misalnya air, langit, tanah) sudah ada sejak milenium ke-4 SM. Pada milenium ke-3 SM, orang mulai mempersonifikasikan kekuatan itu menjadi dewa-dewi dengan fungsi tertentu. Agama Mesopotamia mengenal ribuan dewa, dengan yang terbesar Marduk (Babylon) atau Ashur (Assyria) di puncak hierarki, serta dewi Inanna/Ishtar dan dewa bulan (Sin) di bawahnya. Kuil-kuil megah didirikan di tengah kota; imam-ilm priest melaksanakan ritual untuk meredam kekuatan demon atau dewa yang bisa mengancam masyarakat.

  • India Kuno: Tradisi Veda awal juga bertolak dari mitologi kosmik. Mitos Purusha menggambarkan dunia lahir dari manusia kosmis yang dikorbankan. Dari tubuh Purusha lahirlah tatanan sosial dan alam semesta. Kebudayaan Indo-Arya selanjutnya mengembangkan sistem kepercayaan berbasis korbankan dan mantra: pemujaan Agni (dewa api) maupun Surya (dewa matahari) dalam upacara Yajna. Walau ketiga agama besar India (Hindu, Buddha, Jain) lahir nanti, akar kosmologisnya tetap pada pandangan dunia Veda yang animistik dan siklis.

  • Cina Kuno: Kepercayaan awal bersifat animistik dan berpusat pada penyembahan leluhur. Arkeologi Neolitik menunjukkan perempuan sering berperan sebagai pemimpin upacara pemujaan. Para dewa utama di kemudian hari (Shangdi, Tian) tumbuh dari konsep proto-animisme ini. Budaya kuno menghormati alam (gunung, sungai, matahari) sebagai dewa, dan ritual menghormati leluhur dipercaya memengaruhi keseimbangan alam. Saat periode Zhou, muncul gagasan Yin-Yang dan Tao yang mengabstraksi unsur alam menjadi prinsip kosmik, melanjutkan cara berpikir simbolik pra-agama tersebut. Ringkasnya, di semua budaya kuno di atas tampak sistem religius yang berakar pada pemujaan alam, roh, dan kekuatan gaib, sebagai cara memahami realitas sehari-hari.

Transisi dari Mitos ke Filsafat

Meskipun mitos dan animisme bersifat simbolis dan magis, mereka menjadi dasar lahirnya filsafat formal. Dalam tradisi Yunani, terjadi pergeseran dari mythos ke logos: penjelasan rasional mulai dipisahkan dari cerita imajinatif. Secara klasik “logos” (rasional/akal) dibedakan dari “mythos” (kisah mitos). Para filsuf Pra-Sokratik Yunani, seperti Heraclitus dan Thales, secara terbuka mengkritik penjelasan mitologis dan mencoba memahami alam dengan prinsip-prinsip alamiah. Misalnya, ketimbang mengatakan banjir dikendalikan dewa Enlil (mitos Mesopotamia), Thales mengajukan air sebagai bahan dasar (prinsip physis) segala zat. Pergeseran cara berpikir ini menunjukkan warisan tidak langsung pemikiran awal: rasa ingin tahu tentang tatanan kosmos yang tumbuh dari mitologi dan simbolisme digantikan oleh argumentasi logis.

Dengan kata lain, landasan filosofis berakar pada cara manusia awal berpikir. Cerita mitos memberikan kerangka untuk mengajukan pertanyaan (“mengapa burung-burung terbang?”; “ke mana jiwa pergi setelah mati?”). Selanjutnya, orang mulai mencari jawaban rasional atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Prinsip-prinsip kepercayaan kuno (misalnya: keseluruhan alam bersatu oleh kekuatan tersembunyi) kemudian terformat ulang menjadi konsep filsafat tentang substansi dasar atau hukum alam. Peralihan ini tercermin dalam sumber-sumber Yunani: pernyataan bahwa semua manusia hendaknya mendengarkan “logos” umum ketimbang kisah mitologis.

Kesimpulan:

Secara keseluruhan, pemikiran pra-filsafat (mitologis, animistik, simbolis) memainkan peran kunci sebagai cikal bakal filsafat formal. Mitos penciptaan dan agama awal menyediakan konsep-konsep dasar (roh, dewa, tatanan kosmis) dan memicu pertanyaan filosofis fundamental. Maka, meski berbentuk kepercayaan, kerangka pemikiran kuno inilah yang akhirnya melahirkan metode filsafat—dari tanya-jawab mitos menuju penalaran logis.

Referensi:

Kajian budaya kuno seperti Mesir, Mesopotamia, India, dan Tiongkok yang disebutkan di atas meneguhkan pola pikir ini. Teori antropologi dan filsafat modern (Tylor, penelitian akademik) memberikan landasan konseptual bahwa animisme dan mitos adalah dasar agama pertama dan fondasi awal akal manusia.

https://en.wikipedia.org/wiki/Logos

https://en.wikipedia.org/wiki/Ancient_Mesopotamian_religion

https://www.worldhistory.org/article/891/religion-in-ancient-china/

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4958132/

https://www.britannica.com/topic/animism


Comments