Makna dan Konsekuensi Kesombongan Intelektual dan Kerendahan Hati
Definisi dan Perbedaan Konsep: Kesombongan intelektual adalah sikap merasa diri paling pintar atau paling benar, hingga menganggap remeh pendapat orang lain dan enggan belajar lebih jauh. Kekhususan kesombongan intelektual adalah keyakinan berlebihan terhadap ilmu sendiri sehingga menolak masukan baru. Sebaliknya, kerendahan hati (humility) adalah sikap menyadari keterbatasan diri dan keterbukaan terhadap kebenaran lebih besar daripada kepentingan ego pribadi. Kerendahan hati bukan berarti tidak percaya diri, melainkan menghargai nilai bersama dan menerima kekurangan diri. Immanuel Kant membedakan kerendahan hati otentik (melihat nilai diri seimbang dengan cita-cita tinggi) dan kerendahan diri palsu; ia menyatakan bahwa orang mulia tidaklah sombong karena selalu menyadari jurang pemisah antara pencapaian mereka dan ideal tertinggi. Dengan kata lain, kesombongan intelektual mendahulukan ego dan klaim kebenaran sendiri, sementara kerendahan hati mengutamakan kejujuran batin dan penghargaan terhadap orang lain.
Konsekuensi dan Dampak: Sikap kesombongan intelektual berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan. Secara pribadi, orang yang sombong cenderung sulit berkembang karena menutup diri terhadap kritik dan pembelajaran, bahkan dapat menimbulkan stres jika terus-menerus menjaga citra diri. Dalam konteks sosial, kesombongan menimbulkan konflik, ketidakharmonisan, dan merusak hubungan. Imam Al-Ghazali mencontohkan bagaimana ilmuwan sombong sering merasa superior sehingga bersikap arogan. Profesor Edy Suandi Hamid mengingatkan bahwa sarjana seharusnya menghindari sikap angkuh dan sombong dalam berinteraksi dengan masyarakat; sebaliknya mereka perlu menumbuhkan kecerdasan emosional dan empati. Dalam dunia akademik, kesombongan intelektual dapat menghalangi kolaborasi ilmiah dan inovasi; peneliti atau mahasiswa yang percaya diri berlebihan mungkin tidak mendengar ide orang lain, merendahkan sejawat, atau melakukan plagiarisme untuk mempertahankan reputasinya. Sebaliknya, kerendahan hati akademik mendorong diskusi terbuka, saling menghargai, dan peningkatan pengetahuan bersama. Contohnya, Socrates mempraktikkan kerendahan intelektual dengan mengakui “saya sadar bahwa saya tahu nyaris tidak ada apa-apanya” saat berdialog. Kekayaan akademik justru tumbuh bila individu sadar akan ketidaktahuan mereka dan terus belajar.
Pandangan Filsafat:
-
Filsafat Barat: Socrates (470–399 SM) menganggap kesadaran akan ketidaktahuan sebagai bentuk kebijaksanaan; lewat dialog Platonis ia menunjukkan bahwa semakin menyadari keterbatasan diri, semakin terbuka seseorang dalam mencari kebenaran. Immanuel Kant (1724–1804) membedakan kerendahan hati sejati dari yang semu; menurutnya, orang berbudi luhur selalu merendahkan hati karena mereka memahami bahwa nilai tertinggi tak tercapai sepenuhnya. Friedrich Nietzsche (1844–1900) justru mengkritik kerendahan hati sebagai bagian “moralitas budak” Kristen yang memuliakan kelemahan dan merendahkan kekuatan. Dalam karya Genealogy of Morality, Nietzsche menulis bahwa prinsip “kerendahan hati” dikembangkan oleh kaum lemah untuk melawan nilai kaum kuat, dan dengan demikian digunakan untuk menahan dominasi kaum kuat. Ia melihat kerendahan sebagai sesuatu yang spontan menghindari kebenaran ego (“menolak kebenaran”) dan membenarkan kebodohan demi menuntut kesederhanaan palsu.
-
Filsafat Timur: Dalam tradisi Konfusianisme, kerendahan hati adalah landasan semua kebajikan. Konfusius berkata, “Manusia unggul tertekan oleh keterbatasan kemampuannya; ia tak tertekan oleh kenyataan bahwa orang lain tidak mengenali kemampuannya”. Artinya, orang bijak lebih khawatir menghadapi kekurangan pribadi daripada soal diakui atau tidak. Laozi (600-an SM) dalam Tao Te Ching menganjurkan bahwa kekuatan sejati diiringi kerendahan. Katanya, bangsa yang berkuasa harus tetap rendah hati; kekuatan besar membutuhkan lebih banyak kerendahan hati. Sebuah bait populer berbunyi: “Orang besar seperti orang baik: bila berbuat salah, ia menyadari, mengakui, lalu memperbaikinya.” Prinsip ini menegaskan bahwa kerendahan diri adalah tanda kematangan dan kebijaksanaan. Filsuf dan sufi Muslim seperti Al-Ghazali (1058–1111) menegaskan bahwa kesombongan (al-kibr) adalah penyakit hati yang biasa menyerang kaum cendekiawan. Hasan al-Basri pernah menjelaskan bahwa takabbur (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain; sikap inilah yang harus dijauhi umat beriman.
Perspektif Agama:
-
Islam: Islam mengutuk kesombongan sebagai musuh spiritual. Al-Qur’an melarang berpaling dengan angkuh dari orang lain dan berkelakuan sombong di muka bumi: “Dan janganlah kamu menelengkan muka dengan angkuh kepada manusia, dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong…” (QS Luqman [31]:18). Allah menegaskan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang “yang melampaui diri dan menyombongkan diri”. Hadis Nabi Muhammad SAW memperkuat larangan ini, misalnya Rasulullah bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi pun dari kesombongan”. Hadis lain menjelaskan, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, Dia menyukai keindahan; adapun kesombongan, itu adalah menolak kebenaran dan menghina manusia”. Sebaliknya, Islam memuliakan sifat rendah hati: seseorang disebut sejati beriman jika ia rendah hati, tawadhu’ kepada Allah dan sesama. Nabi Isa (Yesus dalam Islam) juga bersabda bahwa hamba Allah yang rendah hati akan diberi kedudukan tinggi oleh-Nya.
-
Kristen: Ajaran Kristen sangat menyanjung kerendahan hati dan memperingatkan tentang bahaya kesombongan. Dalam Alkitab disebutkan: “Allah menentang orang sombong, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yakobus 4:6). Injil Matius menuliskan, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (Matius 5:5). Peribahasa Salomo, “Arogansi mendahului kehancuran, dan kesombongan mendahului kejatuhan,” menekankan bahwa kesombongan membawa keruntuhan moral. Secara praktis, ajaran ini mendorong umat beriman untuk mengutamakan pelayanan, pengampunan, dan cinta kasih, bukan kebanggaan diri atau penguasaan atas orang lain.
-
Hindu: Kitab suci Bhagavad Gita melukiskan sifat-sifat lawan sikap sombong, yaitu amānitvam (kerendahan hati) dan adambhitvam (tidak mementingkan diri sendiri) sebagai kualitas cendekiawan sejati. Dalam bagian 13:8-12, Gita menyebutkan daftar nilai luhur seperti kerendahan hati, bukan-penipuan, tanpa kekerasan, kesederhanaan, dll sebagai bentuk “ilmu” yang mengatasi kebodohan. Dengan kata lain, dalam pandangan Hindu, orang bijak tidak memuliakan ego; mereka justru rendah hati, menyadari keterkaitan semua makhluk dan batas kemampuan diri.
-
Buddha: Ajaran Buddha juga menolak kesombongan sebagai sumber penderitaan. Buddha Gautama mengajarkan bahwa kebijaksanaan lahir dari kerendahan hati dan keterbukaan menerima pelajaran hidup. Ia berkata, “Rasa hormat, kerendahan hati, rasa cukup, rasa syukur, dan mendengar Dhamma (ajaran) dengan baik — itulah keberuntungan terbaik”. Artinya, mereka yang rendah hati dan bersyukur lebih mudah mencapai pencerahan batin daripada yang congkak. Buddha mengingatkan umatnya bahwa orang yang selalu menginginkan pujian atau kedudukan tinggi dalam masyarakat hanya akan terjerumus dalam kekosongan ego.
Secara ringkas, baik tradisi filsafat Barat-Timur maupun ajaran agama-agama dunia menyimpulkan bahwa kesombongan –terutama kesombongan intelektual– membawa malapetaka moral dan sosial. Sebaliknya, kerendahan hati dianggap sebagai dasar kebijaksanaan, pembelajaran, serta keharmonisan pribadi dan kolektif. Perspektif ini diteguhkan oleh banyak teks suci dan filsafat, mulai dari pernyataan Socrates tentang “tahu bahwa tidak tahu” hingga nasihat Al-Qur’an dan Alkitab agar manusia tunduk kepada kebenaran tertinggi dan menghormati sesama.
Sumber: Kutipan di atas diambil dari berbagai karya filsafat dan agama, antara lain Plato (dialog Apology), Immanuel Kant, Friedrich Nietzsche, Konfusius (Analek), Tao Te Ching, Bhagavad Gita, Al-Qur’an, Hadis Nabi SAW, dan Alkitab (Injil & Kitab Yakobus). Selain itu, pendapat filsuf Muslim seperti Al-Ghazali serta pengamat kontemporer juga dijadikan rujukan untuk menganalisis dampak kesombongan intelektual.
-
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886925000984
-
https://www.informahealthcare.com/doi/epub/10.1080/17439760.2023.2239792
-
https://www.researchgate.net/publication/262143589_Intellectual_humility_and_religious_leadership
-
https://www.oxfordbibliographies.com/abstract/document/obo-9780195396577/obo-9780195396577-0347.xml
-
https://www.regent.edu/acad/global/publications/ijls/new/vol2iss2/Wallace/wallace.htm
-
https://www.acommonword.com/a-lesson-in-humility-for-the-smug-west/
Comments
Post a Comment
Silahkan masukkan komentar anda