Apakah Emosi Membuat Kita Bodoh? Sains Justru Bilang Sebaliknya

 

Filsafat rasionalisme

Rasionalisme dan Emosi dalam Filsafat

Dalam tradisi filsafat rasionalisme, akal (ratio) dianggap sumber utama kebenaran. Emosi atau hasrat (passions) sering dipandang sekunder dan bahkan mengganggu penalaran. Sebagai contoh, Descartes berpendapat bahwa sensasi dan hasrat tubuh itu “sangat bingung” sehingga mudah menyesatkan kita – ia menyebutnya sebagai persepsi yang secara materil salah (“materially false” perceptions). Dengan kata lain, Descartes memandang emosi sebagai material yang perlu dikoreksi oleh akal. Spinoza juga terkenal menekankan kendali rasional atas emosi: ia menilai emosi-emosi negatif (termasuk kemarahan, kesedihan, dan hasrat irasional) muncul dari ketidaktahuan, dan kebebasan manusia tercapai melalui pengetahuan yang rasional. Justru hanya “kegembiraan moderat” yang timbul dari aktivitas yang rasional yang disetujui Spinoza, karena emosi tersebut menandakan keberhasilan pemeliharaan keberadaan diri. Dengan demikian, dalam kerangka rasionalisme klasik emosi tidak dianggap integral – seringkali diabaikan atau diperlakukan sebagai gangguan bagi rasio. Akal menjadi penentu utama, sementara perasaan dipandang sebagai hal yang tidak penting atau harus dikoreksi agar tindakan manusia tetap rasional.


Ekonomi Rasional dan Emosi

Dalam ekonomi tradisional yang berlandaskan prinsip rasionalitas ekonomi, agen-agen diasumsikan sebagai Homo economicus yang bersifat kalkulatif dan tidak beremosi. Model ekonomi klasik menganggap individu memaksimalkan utilitas berdasarkan preferensi yang konsisten, tanpa mempertimbangkan faktor perasaan. Seperti dicatat oleh Mullainathan dan Thaler, teori ekonomi lama menggambarkan dunia yang “dihuni oleh pengambil keputusan yang murni menghitung dan tidak beremosi (unemotional maximizers)”. Kerangka kerja standar ini sengaja mengabaikan hampir semua perilaku manusia yang dipelajari psikologi kognitif atau sosial. Dengan kata lain, emosi dianggap tidak penting atau di luar model; mereka dipandang sebagai sumber bias atau gangguan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Hanya ketika muncul ekonomi perilaku (behavioral economics) bahwa peran emosi mulai diakui. Namun dalam sistem ekonomi rasional klasik, emosi hampir tidak diperhitungkan—lebih banyak dianggap menggangu “pandangan rasional” dan biasanya tidak diperbolehkan sebagai faktor utama dalam model.


Psikologi Kognitif dan Peran Emosi

Dalam psikologi kognitif, fokus awalnya memang terletak pada proses berpikir rasional dan pengolahan informasi. Model awal pemrosesan kognitif cenderung memisahkan pikiran dan perasaan, berasumsi manusia membuat keputusan berdasarkan logika dan perhitungan rasional. Namun riset modern telah merevisi pandangan ini. Penelitian neurosains kognitif menegaskan bahwa emosi sebenarnya integral dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana laporan terbaru menyatakan, studi klasik tentang pengambilan keputusan hanya menekankan komponen kognitif, tetapi sekarang diketahui bahwa jalur emosional pun memainkan peran penting – terutama di situasi yang ambigu, tak pasti, atau berisiko. Dengan kata lain, emosi dan intuisi (proses berpikir cepat “Sistem 1”) beroperasi berdampingan dengan pemikiran reflektif (Sistem 2). Temuan Kahneman–Tversky tentang heuristik dan bias menunjukkan bagaimana respons emosional dapat memandu atau bahkan merusak penilaian rasional. Para ilmuwan seperti Damasio bahkan mengemukakan bahwa emosi adalah “penanda somatik” yang membantu membuat keputusan yang rasional. Oleh karena itu, dalam psikologi kognitif modern emosi justru dianggap integral: ia adalah bagian tak terpisahkan dari cara manusia berpikir dan memutuskan, bukan sekadar gangguan semata.


Seni sebagai Jembatan Rasio dan Emosi

Berbeda dengan ketiga kerangka di atas, karya seni justru memadukan rasionalitas dan emosi. Esensi seni adalah mengekspresikan perasaan melalui medium yang terstruktur dan penuh perhitungan. Sebagaimana Anjan Chatterjee catat, “kata-kata memberikan bentuk bagi keadaan afektif” – artinya seniman menggunakan bentuk, komposisi, dan simbol (unsur-unsur rasional dan terencana) untuk menyalurkan pengalaman emosional. Lebih jauh, pendekatan neuroestetika menunjukkan bahwa pengalaman estetis melibatkan fungsi otak kognitif sekaligus emosional. Studi terbaru mengungkap bahwa pengalaman estetika “melibatkan berbagai proses kognitif dan emosional” dalam otak, mengaktifkan area persepsi (rasional) dan refleksi emosional secara bersamaan. Dengan begitu, seni berfungsi sebagai medium penghubung antara rasionalitas dan perasaan: ia memberi struktur logis (bentuk, pola, narasi) pada ekspresi afektif, sambil merangsang resonansi emosional dalam diri penikmat. Sebagai contoh, sebuah lukisan atau musik dipahami secara intelektual lewat komposisi dan harmoni, namun juga membangkitkan emosi penikmat. Inilah sebabnya mengapa seni sering dianggap mampu menyatukan dua kutub rasional dan emosional – rasio menyediakan wadah dan kerangka, sedangkan emosi mengisi karya tersebut dengan makna mendalam bagi manusia.


Kesimpulan:

Ketiga kerangka di atas memperlihatkan sikap berbeda terhadap emosi. Dalam filsafat rasionalisme dan ekonomi rasional klasik, emosi cenderung dipinggirkan atau dianggap mengganggu (tidak penting atau tidak diperbolehkan sebagai sumber kebenaran). Sementara dalam psikologi kognitif modern, emosi justru diakui penting dan integral dalam proses berpikir. Seni muncul sebagai ranah yang mengharmoniskan keduanya: ia menstrukturkan perasaan dengan kerangka rasional, sekaligus membiarkan respon emosional memberi makna pada bentuk rasional tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa rasio dan emosi bukanlah musuh; melalui ekspresi artistik, keduanya dapat dipadukan dan saling memperkaya dalam pemahaman manusia.


Referensi:

Prinsip-prinsip dasar rasionalisme dan peran hasrat tercatat dalam karya-karya Descartes dan Spinoza. Sementara itu, literatur ekonomi klasik mencerminkan model Homo economicus tak beremosi. Di bidang psikologi, riset kognitif terkini menegaskan pengaruh jalur emosional pada pengambilan keputusan. Bidang neuroestetika dan filsafat seni mengilustrasikan bagaimana elemen kognitif dan afektif bersinergi dalam pengalaman estetis.

Comments