Monyet (sirkus Ketika Monyet Lebih Bermartabat)

 

Ketika monyet lebih bermartabat


"Ketika Monyet Lebih Bermartabat"

Pernahkah kamu melihat monyet di kota? Bukan yang hidup di hutan, bukan pula di kebun binatang. Tapi yang berjalan di trotoar, memakai rompi, mungkin bawa topi, dan kadang menari di simpang lampu merah sambil diiringi musik dangdut dari speaker rusak. Ya, itu—topeng monyet. Lucu? Mungkin. Tapi lebih lucu lagi kalau kita berpikir sejenak: siapa yang sebenarnya topeng, dan siapa yang sebenarnya monyet?

Monyet sejatinya hidup di alam. Mereka liar, penuh naluri. Mereka tak tahu konsep uang, integritas, harga diri, atau martabat. Apa yang mereka lakukan? Mencari makan, berkembang biak, bertahan hidup. Simple. Jujur. Tanpa pencitraan.

Lucunya, ketika manusia yang katanya makhluk paling cerdas di muka bumi mulai menanggalkan martabatnya demi cuan, demi followers, demi panggung... kita malah melihat potret yang lebih mirip monyet—dalam artian terburuknya.

Coba tengok sekitar. Berapa banyak yang:

  • Menjual opini tanpa isi, hanya demi endorse?

  • Menggadaikan moralitas di kolom komentar, demi sorotan kamera?

  • Menari bukan karena seni, tapi karena bayaran?

  • Menyebar hoax hanya karena views-nya menggiurkan?

  • Bikin konten mempermalukan diri sendiri demi AdSense? 

Kita hidup di zaman ketika manusia bangga jadi badut, asal dibayar. Tapi ironisnya, kita masih menganggap diri “lebih tinggi” dari hewan yang setidaknya tak pernah pura-pura jadi sesuatu yang bukan dirinya.

Monyet tak pernah munafik.

Mereka tidak pura-pura berjuang demi rakyat lalu tidur di balik kursi empuk parlemen. Mereka tidak menjual prinsip demi promosi kripto penipuan. Mereka juga tidak mengorbankan teman untuk viral satu malam. Jadi, kalau kita bicara soal kehormatan dan martabat, siapa yang lebih rendah?

Kritik ini bukan semata soal uang. Uang bukan masalah. Ketamakan dan kebodohan adalah.
Kita bukan membenci kekayaan, tapi mempersoalkan harga diri yang dijual murah.
Kita tidak membenci selebriti, tapi mempertanyakan mengapa budaya kita membiarkan kebodohan dipuja asal dibungkus glamor.

Lalu lahirlah bentuk-bentuk satire modern:
“Anjaisme”, “anjay-anjayan”—seolah lelucon biasa, tapi di dalamnya mengandung ejekan halus terhadap perilaku manusia yang “pura-pura tidak tahu malu.”
Kita tertawa sambil meringis, karena sadar: mungkin yang ditertawakan adalah kita sendiri.

Di titik ini, kita perlu bertanya:
Apakah kita masih manusia yang berpikir? Atau hanya sekadar organisme berbulu tipis yang kebetulan bisa bicara?

Kita bangun rumah tinggi, punya AI, punya blockchain, tapi tak bisa jujur pada diri sendiri.
Kita menyebut monyet sebagai hewan rendah, padahal mungkin mereka lebih tahu arti "kejujuran instingtif" daripada kita yang menjual topeng kejujuran palsu.



Akhir kata:

Jika kamu harus menari di lampu merah, menarilah karena kamu menikmati ritme kehidupan, bukan karena diperbudak kapital tanpa kesadaran.

Jika kamu harus memakai topeng, pakailah untuk seni, bukan untuk menyembunyikan pengkhianatan terhadap nurani.

Dan jika kamu merasa ingin menertawakan monyet… pastikan dulu bahwa kamu tak sedang menertawakan cerminmu sendiri.

Comments